www.opendebates.org – Bencana banjir kembali menampar Aceh, memaksa pemerintah provinsi mengambil langkah tidak biasa: menyurati Perserikatan Bangsa-Bangsa demi bantuan. Tindakan ini memicu perdebatan luas, mulai dari legitimasi kewenangan hingga martabat negara. Namun di balik hiruk-pikuk opini politik, ada kenyataan pahit yang kerap luput: warga terdampak bencana banjir membutuhkan pertolongan cepat, bukan sekadar wacana elitis.
Komisi II DPR menilai langkah Pemprov Aceh itu sebetulnya tidak perlu dipersoalkan berlebihan. Selama struktur hukum dihormati, bantuan internasional bukanlah dosa politik. Justru, diskusi penting semestinya berfokus pada satu pertanyaan krusial: mengapa bencana banjir terus berulang dengan pola sama, meski jutaan anggaran penanggulangan bencana telah digelontorkan? Surat ke PBB hanyalah gejala. Akar persoalan jauh lebih dalam.
Surat ke PBB di Tengah Bencana Banjir Aceh
Bencana banjir yang melanda Aceh tidak datang tiba-tiba. Curah hujan tinggi, drainase buruk, alih fungsi hutan, hingga penataan ruang lemah, berpadu menciptakan genangan besar yang akhirnya merendam permukiman. Di tengah kekacauan itu, Pemprov Aceh memilih mengirim surat ke PBB untuk meminta bantuan. Langkah ini mengundang tanya: apakah kapasitas penanganan bencana di tingkat nasional memang sudah mentok, atau ini sekadar upaya mempercepat masuknya dukungan global?
Komisi II DPR merespons isu tersebut dengan menyarankan publik agar tidak berlarut memperdebatkan aspek simbolik. Menurut mereka, fokus utama seharusnya pada ketepatan prosedur serta efektivitas respons terhadap bencana banjir. Jika pemerintah daerah merasa kewalahan, mencari sokongan internasional bisa dipahami sebagai ikhtiar realistis. Namun tetap harus ada koordinasi selaras bersama pemerintah pusat, supaya pesan yang keluar ke dunia tidak terkesan liar ataupun kontraproduktif.
Dari sisi komunikasi politik, surat semacam itu menyimpan dua sisi mata uang. Di satu sisi, Aceh tampak proaktif mencari solusi bagi warganya. Di sisi lain, muncul kesan bahwa negara tidak cukup sigap mengurus bencana di wilayah sendiri. Saya melihat, persoalan utamanya bukan boleh atau tidaknya meminta bantuan, tetapi bagaimana memastikan langkah itu bagian dari strategi kebencanaan menyeluruh, bukan upaya reaktif setiap kali bencana banjir menghantam.
Dimensi Hukum, Kewenangan, dan Martabat Negara
Permohonan bantuan luar negeri sejatinya memiliki koridor hukum jelas. Dalam sistem Indonesia, urusan hubungan luar negeri berada di ranah pemerintah pusat. Pemerintah daerah harus berjalan melalui mekanisme resmi, agar tidak menabrak aturan serta tidak menimbulkan pesan ganda di mata dunia. Kontroversi surat Aceh ke PBB muncul karena publik khawatir prosedur itu dilompati. Meski begitu, Komisi II DPR menegaskan bahwa perdebatan sebaiknya tidak mengabaikan tujuan utama: menyelamatkan korban bencana banjir.
Dari kacamata konstitusional, penting memastikan seluruh tindakan tetap berada di rel NKRI. Bila pemerintah pusat ikut mengawal, surat ke PBB dapat menjadi instrumen diplomasi kemanusiaan yang sah. Problemnya, isu prosedur sering kali menjadi bahan bakar perdebatan politik, sementara korban banjir masih berjuang menyelamatkan harta benda. Di sini terlihat jurang antara diskursus elit dengan kebutuhan lapangan. Saya berpendapat, penegakan aturan tidak boleh lunak, tetapi fleksibilitas kemanusiaan juga perlu ruang.
Isu martabat negara kerap muncul setiap kali bantuan asing dibahas. Sebagian pihak menganggap, meminta dukungan PBB mengisyaratkan ketidakmampuan pemerintah mengurus bencana banjir sendiri. Padahal, banyak negara maju juga memanfaatkan jejaring global saat menghadapi krisis besar. Martabat sesungguhnya tidak diukur dari seberapa keras kita menolak bantuan, melainkan dari seberapa transparan, profesional, dan akuntabel kita mengelola dukungan yang masuk. Justru penolakan bantuan demi citra bisa memperburuk penderitaan warga.
Realitas Lapangan: Banjir Berulang, Solusi Berputar di Tempat
Bila menengok ke kamp-kamp pengungsian, pembicaraan tentang PBB terasa jauh. Bagi korban bencana banjir, yang penting hanyalah ketersediaan makanan, air bersih, pos kesehatan, serta jaminan tempat tinggal aman. Rehabilitasi pasca banjir sering kali berjalan lambat. Tanggul darurat dibuat seadanya. Drainase dibersihkan sesaat, lalu kembali tersumbat. Setiap musim hujan, kekhawatiran muncul lagi. Siklus ini menandakan kegagalan sistemik, bukan sekadar kurangnya dana.
Penanggulangan bencana banjir di Indonesia masih didominasi pola respons darurat. Ketika air sudah naik, barulah logistik bergerak, perahu karet dikerahkan, tenda dibuka. Mitigasi struktural seperti normalisasi sungai, penghijauan kawasan hulu, pengendalian izin tambang, serta penataan pemukiman di bantaran sungai, sering hanya menghiasi dokumen rencana. Di Aceh, jejak konflik masa lalu dan tsunami besar awal 2000-an menyisakan kerentanan tambahan, baik sosial maupun infrastruktur.
Di titik ini, permintaan bantuan ke PBB bisa dibaca sebagai alarm. Bukan cuma alarm bagi Aceh, tetapi juga peringatan untuk sistem kebencanaan nasional. Kita perlu bertanya: mengapa daerah yang kerap dilanda bencana banjir tidak diberikan prioritas pembangunan infrastruktur adaptif jangka panjang? Mengapa peringatan dini cuaca ekstrem belum benar-benar terintegrasi ke perencanaan kota dan desa? Tanpa jawaban tegas, kita akan terus mengulang drama serupa, hanya berganti lokasi.
Peluang Kerja Sama Global untuk Pengelolaan Banjir
Jika dikelola secara cermat, surat ke PBB dapat menjadi pintu masuk kolaborasi konstruktif, bukan sekadar permohonan bantuan darurat. Badan-badan PBB maupun mitra internasional memiliki pengalaman panjang mengembangkan sistem peringatan dini, manajemen risiko bencana, hingga pendanaan inovatif untuk adaptasi iklim. Bencana banjir di Aceh bisa dijadikan studi kasus bagi penguatan kapasitas lokal, bukan hanya episode memilukan lain di arsip berita.
Kerja sama global seharusnya tidak berhenti pada distribusi paket makanan atau tenda sementara. Yang lebih penting ialah transfer pengetahuan dan teknologi: bagaimana membangun kota tahan banjir, memulihkan kawasan hulu sungai, mengatur tata ruang agar tidak mudah tergenang. Keterlibatan universitas lokal, komunitas warga, hingga pesantren dapat dipadukan dengan tenaga ahli luar negeri. Pendekatan partisipatif seperti itu membantu memastikan intervensi tidak terputus setelah sorotan media mereda.
Saya memandang, keterbukaan pada jejaring global justru bisa memperkuat kedaulatan, asalkan dikendalikan oleh agenda nasional yang jelas. Pemerintah pusat perlu memastikan bahwa bantuan bagi bencana banjir tersalur berdasarkan peta risiko resmi, bukan berdasarkan kedekatan politik. Standar transparansi juga harus tegas, supaya tidak muncul kecurigaan soal korupsi bantuan. Ketika kepercayaan publik meningkat, resistensi simbolik terhadap bantuan internasional akan turun dengan sendirinya.
Refleksi untuk Masa Depan: Dari Reaktif ke Preventif
Akhirnya, kontroversi seputar surat Pemprov Aceh ke PBB mestinya kita jadikan cermin. Bencana banjir bukan peristiwa insidental semata, melainkan konsekuensi panjang dari tata kelola lingkungan, politik anggaran, hingga keberanian mengambil keputusan tidak populer. Bantuan internasional boleh datang, tetapi ia tidak boleh menutupi kewajiban negara memastikan warganya aman. Kita perlu beralih dari pola reaktif menuju strategi preventif yang terukur. Saat perdebatan politik mereda, semoga yang tersisa adalah komitmen kolektif membangun sistem perlindungan bencana lebih adil, transparan, dan berpihak kepada mereka yang paling rentan.

